Sabtu, 25 Agustus 2012

Miles Film



MILES FILM adalah salah satu PH Film yang saya sukai karna film-film yang di produksi dan di buat di PH Film ini sungguh lah bagus di antaranya Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta?,dll dan orang-orang pekerja penggagas yang bekerja di Miles Film sangat lah luar biasa di sana ada emba Mira Lesmana, Riri Riza, Toto Prasetyanto.

Ketiga orang itu lah otak dari Miles Film dan saya termasuk penggemar karya-karya mereka yang sudah di akui dan terpercaya bagusnya, karna saya sangat ngefans dengan merek saya akan menjabarkan profil mereka satu persatu ok

MIRA LESMANA

Mira Lesmana lahir di Jakarta pada tahun 1964. Dia belajar di Institut Kesenian Jakarta (1985 - 1988), jurusan Mengarahkan, tapi kemudian memilih film yang memproduksi sebagai karir utama nya. Dia bekerja selama lima tahun di Advertising Lintas dan empat tahun di Film katena sebelum dia mulai Productions Miles pada tahun 1995. Namanya dimasukkan meningkat saat ia diproduksi ANAK Seribu PULAU (Anak-anak dari Kepulauan Seribu), sebuah seri dokumenter sangat sukses pada tahun 1996. Tapi hanya setelah ia berkolaborasi dengan Riri Riza, Nan T, Achnas dan Rizal Mantovani dalam membuat KULDESAK (Cul-de-Sak) pada tahun 1998, dia menjadi dikenal sebagai pembuat film.

Di tengah krisis industri perfilman Indonesia, memberikan 'Kuldesak' mark sendiri, bukan hanya karena keberhasilannya di bioskop di Indonesia, tetapi juga karena kisah tentang bagaimana itu dibuat. Film ini mengambil 3 tahun untuk menyelesaikan dan dibuat dalam gaya gerilya, di mana kru dan aktor berdedikasi pekerjaan mereka dalam bentuk. Semangat dibalik semua pembuatan film terkejut karena ada pandangan yang sangat pesimis terhadap adegan film Indonesia pada waktu itu.

Kritikus film telah diberi label dirinya sebagai 'tak terduga', memproduksi film mulai dari sukses box office besar untuk film kritis diakui, dari fitur anggaran kecil untuk produksi epik besar. Dia juga mencakup sutradara muda berbakat dan baru. Pada tahun 2000, dia menghasilkan fitur penuh pertama Riri Riza, film anak-anak, Petualangan Sherina (Petualangan Sherina), dan pada tahun 2002, dia menghasilkan fitur film Rudi Soedjarwo debut ADA APA Baru CINTA? (Ada Apa Dengan Cinta?), Dengan Riri Riza sebagai co-produser. Kedua film itu sukses nasional dengan jumlah box office tertinggi dalam dekade, dan menempatkan dia di daftar teratas produsen berpengaruh dan bercita-cita tinggi di Indonesia. Belum lagi Garasi (2006) oleh Agung Sentausa yang ia dihasilkan pada waktu yang sama saat ia meluncurkan cetakan film sebagai Garasi, grup musik, di bawah Musik MILES.

Mira Lesmana dan Riri Riza telah menjadi mitra dan MILES Films menjalankan bersama-sama. Sejauh Mira telah menghasilkan 5 lebih dari film Riri Riza, yang ELIANA kritis diakui, ELIANA (2002), politik kontroversial Film Gie (2005), sebuah proyek kecil fitur anak Film UNTUK RENA (Dear Rena) (2005), Jalan menarik perjalanan film 3 HARI UNTUK SELAMANYA (3 Hari Untuk Selamanya) (2007), LASKAR PELANGI (Laskar Pelangi) (2008), box office nasional yang memecah rekor sebagai film Indonesia yang paling dilihat dengan lebih dari 4,6 juta penonton teater, dan sekuelnya, Sang Pemimpi (The Dreamers), yang akan dirilis Desember 2009.

RIRI RIZA

Riri Riza lahir pada tahun 1970, seorang Sarjana dari Departemen Film Jakarta Institute of the Arts. Dia pergi untuk mengambil gelar Master di Film Screenwriting di Royal Holloway University of London, Inggris. Dia adalah sutradara film terkemuka dari reformasi pasca perfilman Indonesia, dikenal karena kemampuannya untuk mendorong batas konvensi genre dan mencapai sukses box office. Riri juga merupakan salah satu pemimpin dalam gerakan anti sensor di Indonesia.

Riri Riza adalah salah satu pendongeng Indonesia yang paling berbakat dengan pendekatan artistik dan eksplorasi berani dalam film. Film-filmnya secara luas dicintai. Filmnya SONATA KAMPUNG BATA, memenangkan penghargaan di Festival Film Pendek di Oberhausen, Jerman dan sejak itu telah diputar di berbagai festival di seluruh Asia, Eropa dan Amerika Serikat.

Pada tahun 1996, ia berpartisipasi dalam mengarahkan sebuah film independen yang disebut KULDESAK. Proyek tiga tahun selesai pada tahun 1998 dan telah diputar di festival film di Rotterdam, Deauville, Singapura dan Filipina.

Pertama fitur filmnya pada tahun 2000, adalah sebuah drama musikal yang disebut Petualangan Sherina yang berhasil menangkapnya ke dalam box office dan membuka pintu untuk kebangkitan industri film Indonesia. Pada tahun 2002, ia menulis dan diarahkan ELIANA, ELIANA, dipimpin oleh I Sinema, sekelompok produktif pembuat film independen yang dipimpin oleh Mira Lesmana. Film ini memenangkan penghargaan Young Cinema Award dan Netpac / FIPRESCI di Festival Film Singapura, Perhatian Khusus di Dragons dan Tiger upacara Awards di Vancouver dan penghargaan untuk Best Actress di Deauville, Prancis. ELIANA, ELIANA juga telah diputar di festival internasional bergengsi seperti Pusan, IFP Los Angeles, London dan telah diundang untuk bersaing di Spirit Awards IFP Independen tahun depan.

Dia menulis dan mengarahkan GIE pada tahun 2005, yang memenangkan Film Terbaik, Aktor Terbaik dan Sinematografi Terbaik Penghargaan Film Indonesia pada tahun 2005, memenangkan Jury Prize khusus di Festival Film Internasional Singapura pada tahun 2006 dan khusus Jury Prize Asia Pacific Film Festival 2007. Itu juga di tahun yang sama ia diarahkan bertema drama keluarga fitur, UNTUK RENA.

Karyanya dalam 3 HARI UNTUK SELAMANYA apresiasi internasional yang diterima, saat ia memenangkan penghargaan Best Director di 35 International Film Festival 2008 Brussels Independen.

Baru-baru ini film LASKAR PELANGI (The Rainbow Troops), dirilis September 2008 lalu, merupakan sebuah kesuksesan fenomenal, memecahkan rekor sebagai film kantor terbesar di Indonesia kotak. Ini adalah pilihan yang resmi di Berlin International Film Festival bergengsi (Berlinale) 2009, menerima penghargaan SIGNIS di Hong Kong International Film Festival 2009, dan telah diputar di lebih dari 20 festival film internasional selama 5 kontingen dalam waktu satu tahun setelah peluncurannya. Sekuel, Sang Pemimpi (The Dreamers), adalah proyek berikutnya Riri yang akan dirilis pada Desember 2009.

TOTO PRASETYANTO

Toto Prasetyanto lahir di Yogyakarta, Indonesia, pada tahun 1966. Ia belajar Surat Jerman (1986) dan Manajemen Keuangan (1992) di Universitas Indonesia, dan mulai bergabung dengan Miles Films pada tahun 1996. Dia berpartisipasi dalam sejumlah produksinya, seperti TVCs, ILM, Video Musik, Film Dokumenter, Film Televisi dan Film Fitur, seperti Jalur Produser, Co-Produser dan juga Produser Eksekutif. Dia kini juga bertugas mengelola rumah produksi.

nah sekian lah penjabaran saya tentang PH Film yang sudah sangat besar dan terkenal yaitu MILES FILM, ok guys semoga menginspirasi.

"MAJU TERUS FILM INDONESIA"

*Bekasi 26 Agustus 2012







Sejarah Gedung Bioskop di Indonesia




Sejarah adanya gedung bioskop di Indonesia di mulai dari tahun :

1900
Munculnya bioskop pertama di Indonesia boleh dibilang nggak terlalu terpaut jauh dengan bioskop permanen di Vitascope Hall, Buffalo, New York.  Kalau di Amrik bioskop permanen pertama lahir pada Oktober 1896, di Indonesia pada tahun 5 Desember 1900 film mulai masuk ke Hindia Belanda. Bukan gedung bioskop, tetapi di rumah seorang Belanda di Kebon Jahe. Penyelnggara pertunjukan De Nederlandsch Bioscope Maatschappij. Harga tiket kelas I, 2 gulden; kelas II, 1 gulden dan kelas III, 50 sen. Tempat ini mengubah nama menjadi The Roijal Bioscope pada tanggal 28 maret 1903.

1901
Pertunjukan “gambar idoep” alias film mulai diperlihatkan kepada khalayak lebih luas, antara lain di Deca Park (Gambir), Lapangan Tanah Abang, Lapangan Mangga Besar, Lapangan Stasiun Kota. Semua di Batavia. Konsep “bioskop” sangat sederhana, hanya ditutupi dinding bilik tanpa atap. Mungkin seperti layar tancep sekarang.

1903
Beberapa gedung bioskop permanen berdiri di Batavia. Hadirlah bioskop bernama Elite, Deca Park, Capitol, Rialto (satu di kawasan Senen dan satu lagi di Tanah Abang). Rata-rata bangunan di berbagai kota di Indonesia pada masa itu dilandaskan pada konsep art noveau  (seni baru) yang juga kerap disebut seni dekoratif atau art deco . Inilah aliran seni yang berkembang  pada tahun 1890-1905 di Eropa yang melingkupi berbagai bentuk seni murni dan seni terapan termasuk karya arsitektur untuk bioskop.

1926
Tanggal 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927, Loetoeng Ka saroeng , film lokal pertama diputar di berbagai bioskop di Bandung, antara lain di Elita dan Oriental Bioscoop.  Film yang diproduksi NV Java Film Company  itu juga diputar di Bioskop Majestic,  di kawasan elit Jalan Braga,  Bandung.  Bentuk bangunan Majestic digarap arsitek ternama Ir. Wolff Schoemaker. Majestic selesai dibangun pada tahun 1925.

1934
Tanggal  13 September dibentuk Persatuan Bioskop Hindia Belanda (Nederlandsch Indiesche Bioscoopbond) di Jakarta.

1936
Menurut Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) HM Johan Tjasmadi - ia baru meluncurkan buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia  - terdapat 225  bioskop yang ada di Hindia Belanda.  Bioskop tersebut antara lain hadir  di Bandung (9 bioskop), Jakarta (13 bioskop), Surabaya (14 bioskop)  dan Yogyakarta (6 bioskop)..

1942-1945
Sebelum Jepang masuk ada sekitar 300 gedung bioskop di Indonesia. Jumlah itu berkurang tinggal 52 gedung yang tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Malang. Yang pertama tersingkir adalah bioskop menengah-bawah. Banyak gedung bioskop alihfungsi menjadi gudang penyimpanan bahan pokok. Film pada masa itu dianggap tidak menarik karena melulu berisi propaganda Jepang. Harga tiketnya pun terbilang mahal.

1945
Pascakemerdekaan, muncul tiga lembaga perfilman: Perusahaan Produksi Film, Perusahaan Peredaran Film, dan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia).

1951
Bioskop Metropole resmi beroperasi. Pemutaran film Annie Get Your Gun  menandai mulai beroperasinya  Metropole di kawasan Menteng, Jakarta. Rahmi Rachim Hatta - istri Wakil Presiden Mohammad Hatta,  Haji Agus Salim dan Sultan Hamengkubuwono IX meresmikan bioskop berkapasitas 1.500 tempat duduk. Bioskop bergaya art deco itu dirancang oleh Liauw Goan Seng. Dalam perjalanannya Metropole bolak-balik ganti nama. Warga Jakarta sempat mengenalnya dengan sebutan bioskop Megaria.



1955
Festival Film Indonesia (FFI) pertama, 30 Maret – 5 April 1955. Lewat Djam Malam , dengan sutradara Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik. FFI berlangsung di Metropole dan Cathay. Di bioskop itu ula apda 10 April 1955 lahir PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia).

1960-an
Gara-gara politik sempat terjadi pemboikotan film-film Amerika. Beberapa gedung bioskop sempat dibakar. Film dari Rusia, India, Melayu, Filipina mulai banyak beredar.Jika pada tahun 1960 jumlah bioskop di Indonesia sudah mencapai 890, pada tahun menjelang peristiwa G30S/Pki tinggal 350 saja.

Pada awal Orde Baru 1966 film Amerika kembali bisa ditonton masyarakat umum.

1970-an
PPBSI dan beberapa organisasi sejenis sepakat melebur menjadi GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) pada Desember 1970. Di sisi lain akibat dibukanya kesempatan untuk mengimpor film jumlah bioskop pada tahun 1969-1970 di Indonesia tercatat 653 bioskop. Jumlah itu meningkat pada tahun 1973 menjadi 1.081.

1987
Mulai diperkenalkan bioskop sinepleks yang dikenal sebagai “21” yang dikelola oleh perusahaan Subentra milik pengusaha Sudwikatmono. Kartika Chandra Theater di Jalan Jenderal Gatot Subroto adalah salah satu yang pertama memperkenalkan konsep satu gedung empat ruang bioskop. Penjaga loket dan pintu bioskop terdiri dari cewek-cewek cantik dengan baju batik dan rok panjang.

Jumlah sinepleks makin banyak hingga ke kota lain.  Sinepleks dibangun di pusat perbelanjaan, kompleks pertokoan atau di dalam mal yang notabene menjadi tempat nongkrong anak muda.

1990-an
Konsep sinepleks membuat jumlah ruang pemutaran bioskop bertambah. Tahun ini ada 3.048 layar. Dengan fasilitas yang nyaman, orang lebih tertarik nonton di sinepleks. Bioskop non-21 mulai berguguran, kalah bersaing. Sementara film nasional yang biasanya melayani kalangan itu seperti tidak punya tempat. Jumlah produksi film nasional pun merosot. Di sisi lain,  bioskop di Indonesia hampir seluruhnya dikuasai oleh jaringan sinepleks 21.



2000-an
Kelompok sinepleks 21 meluncurkan bioskop dengan konsep satu kelas di atas 21 biasa:  XXI dan The Premiere.  Tahun 2007 Blitzmegaplex hadir pertamakali di Paris Van Java, Bandung.  Selanjutnya di Grand Indonesia Jakarta. Konsepnya sama, multilayar, namun dengan teknologi audio dan visual yang lebih canggih. Juga pelayanan yang lebih memudahkan serta menyatu dengan sarana lain di sekitar bioskop, seperti restoran.

2011
Tanggal 18 Februari. Berita bahwa film impor sejak 18 Februari tak akan beredar lagi di bioskop di Indonesia merebak. Media massa melansir berita: Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) tidak akan mengimpor film-film dari luar Indonesia. Begitu juga dengan Motion Picture Association of America (MPAA) menolak mendistribusikan film-film produksi Hollywood.  Aksi ituitu dilakukan sebagai protes atas kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. Bea masuk itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktek bisnis film di seluruh dunia.. Namun setelah sekitar tiga bulan bioskop hanya diisi film lokal dan film asing dan sepi peminat, ada harapan publik film Indonesia bisa kembali menonton film Hollywood.  Pada 18 Mei Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono, di Kantor Kementerian Keuangan mengatakan, “Tunggakan salah importir besar yang sudah dibayarkan Rp 9 miliar, jadi mereka boleh impor film lagi, tapi harus sesuai dengan aturan yang ada.” Tinggal dua importir besar lagi yang belum melunasi tunggakan karena masih dalam proses banding.

Bekasi, 26 Agustus 2012

USMAR ISMAIL (Bapak Film Indonesia)



Nama :
Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh

Lahir :
Bukit Tinggi, Sumatera Barat
20 Maret 1921

Wafat :
Jakarta, 2 Januari 1971

Pendidikan :
HIS, MULO-B, AMS-A II
(Barat Klasik) 1941,
 Jurusan Film Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat (BA-1953)

Karya :
“Puntung Berasap”(puisi), Sedih Dan Gembira dan Tjitra”(1949),
“Liburan Seniman”(1965),
 “Darah Dan Doa dan Enam Djam di Jogya”(1950),
“Dosa Tak Berampun”(1951), “Terimalah Laguku”(1952), “Kafedo”dan “Krisis”(1953),
“Lewat Jam Malam”(1954),
“Tiga Buronan”(1957), “
Jendral Kancil”(1958), “
Asmara Dara”dan “Pejuang”(1959),
“Anak Perawan Disarang Penyamun”(1962).

Karier :
Ketua PWI (1947)
Ketua PPFI (1954-1965),
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia),



Usmar Ismail, dikenal sebagai seniman serba bisa yang punya nama besar pada zamannya. Usmar adalah penyair, dramawan, wartawan, sutradara, dan pembuat film terkemuka Indonesia. Bapak perfilman Indonesia ini mewariskan karya-karya dalam bidang seni dan budaya yang masih bisa dinikmati hingga saat ini. Ia adalah sosok pejuang multidimensional yang penuh warna.

Kepeloporannya dalam perfilman Indonesia ditulis oleh Tatiek Malyati, sebagai berikut : “Saya kira dia pelopor pada zaman itu. Sebelumnya belum ada film-film yang bisa memberikan cerminan dari masyarakat, masalah-masalah yang ada dimasyarakat”. Sementara Chalid Arifin, dosen film di IKJ, menambahkan : “Ciri film Usmar itu linier, tidak berdasarkan urutan waktu dan terpecah-pecah. Ada beberapa kejadian yang semula lepas-lepas tetapi kemudian kumpul menjadi satu. Itu luar biasa, sampai sekarang mungkin nggak ada film Indonesia seperti itu”.

Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Usia tujuh tahun Usmar sudah pandai mengaji. Setamat HIS dan Tawalib di Batusangkar bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan sekolah ke MULO di Padang Panjang. Kemudian Usmar yang pandai menggambar bersama dengan sahabatnya Rosihan Anwar merantau ke Jawa. Di Yogyakarta Usmar melanjutkan ke AMS-A II jurusan Klasik Timur. Masa sekolah Usmar Ismail yang indah di Yogyakarta terganggu oleh masuknya balatentara Dai Nippon ke Indonesia. Dengan Mengantongi ijazah darurat Usmar pergi ke Jakarta dan tinggal dengan kakaknya, Dr. Abu Hanifah. Ia kemudian bekerja di kantor pusat kebudayaan dan aktif mengembangkan bakatnya menulis cerpen, syair, dan naskah drama. Menutur Asrul Sani, dalam pengantar buku Usmar Ismail Mengupas Film, sebagai penyair ia merupakan generasi penutup yang menulis puisi dengan gaya Pujangga Baru.

Pada tahun 1943, Usmar bersama Rosihan Anwar dan Abu Hanifah mendirikan perkumpulan sandiwara amatir Maya. Diperkumpulan sandiwara itu Usmar yang menikahi Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi dan rekan kerjanya. Menurut Nano Riantiarno, sutradara Teater Koma, apa yang diproduksi Maya boleh dibilang sebagai cikal-bakal teater modern Indonesia. Pada awal revolusi Usmar Ismail memasuki dinas ketentaraan dan aktif di bidang kewartawanan. Bersama dengan Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar dan kawannya mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika para pemimpin Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta Usmar ikut serta. Di Yogya ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Pada tahun 1947 Usmar yang tetap aktif berkesenian terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Usmar Ismail memenuhi panggilan hidupnya di dunia perfilman. Minatnya membuat film dengan kemampuan tenaga Indonesia semakin membara. Pada 1950 Usmar dan kawan-kawannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar memproduksi film pertamanya Darah dan Doa tahun 1950, Enam Djam di Yogya”tahun 1950 dan Dosa Tak Berampun”tahun 1951. Dengan keterbatasan  modal, sumber daya, dan peralatan Usmar bisa membuat film-film yang setara dengan film-film dari luar negeri pada zaman itu. Film pertamanya Darah dan Doa, atau lebih dikenal dengan judul asing The Long March, yang mengisahkan Long March pasukan Siliwangi diberi kesempatan diputar perdana di depan Presiden Soekarno.

Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar Ismail juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memajukan teater modern di Indonesia. Setelah mendirikan kelompok sandiwara Maya, pada tahun 1955 Usmar mendirikan Akademi Teater Nasioanl Indonesia (ATNI), sebuah cikal-bakal “Teater sekolahan” di Indonesia. Menurut Asrul Sani ini merupakan upaya lain Usmar untuk membuka jalan baru untuk pertumbuhan teater modern di Indonesia.

Dalam dunia perfilman Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Beberapa karyanya mendapat penghargaaan dari pemerintah dan dalam berbagai festival film internasional. Hari pertama syuting film Darah Doa, 30 Maret, dinyatakan sebagai Hari Film Nasional. Bersama dengan tokoh-tokoh perfilman luar negeri Usmar mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia Pasifik. Dalam rangka mempromosikan film dan artis Indonesia. Usmar Ismail yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama, mendapat penghargaan tertinggi Piagam Widjayakusumah dari Presiden Soekarno. Pengurus PBNU ini lalu memasuki kiprahnya sebagai anggota DPR-Gotong Royong.

Usmar Ismail adalah cermin insan film yang bekerja dengan penuh idealisme sekaligus sejumlah kompromi. Di tengah maraknya kritik dan lesunya film nasional Usmar mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun karena pendarahan otak. Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh adalah sosok pejuang yang pantas menjadi teladan. Dan nama Bapak Perfilman H. Usmar Ismail dibilangan Kuningan Jakarta Selatan.***


(Dari Berbagai Sumber)





Djamaludin Malik, Bapak Industri Film Indonesia



Big Boss, begitu panggilan akrab yang disematkan para seniman Senen, kepada raja film Indonesia : Djamaludin Malik. Sapaan ini muncul, lantaran ia kerap membantu para artis dan pemain teater, yang kala itu masih hidup susah. Pada masa setelah kemerdekaan hingga Bung Karno jatuh, seniman — utamanya para sineas dan pemain film — tidaklah mendapatkan prioritas oleh pemerintah kita. Hingga tahun 1964, tak ada satupun kementerian yang mengurusi perkembangan industri film tanah air. Oleh karenanya, pada era 1950-an bioskop-bioskop banyak dikuasai oleh film-film asing, terutama produksi Bollywood. Dalam keadaan carut-marut seperti itu, banyak film karya anak negeri yang cukup berkualitas, namun tak laku dipasaran. Akibatnya banyak rumah produksi yang gulung tikar, dan karyawannya di-PHK.

Dari sekian banyak tokoh film Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis itu adalah Djamaludin Malik. Ia merupakan pendiri sekaligus pemilik Persari (Perseroan Artis Indonesia). Sebuah perusahaan film yang menampung artis-artis Indonesia pada masa itu. Sebenarnya Djamaludin bukanlah seorang seniman. Namun kecintaannya terhadap sandiwara dan perfilman Indonesia, menyebabkannya mau memodali industri ini.



Djamaludin Malik (kanan) mendampingi ibu negara Fatmawati dalam peresmian FFI I 1955


Djamaludin Malik lahir di Padang pada tanggal 13 Februari 1917. Ia seorang Minangkabau yang masih memiliki garis keturunan dengan raja Pagaruyung di Tanah Datar. Pada mulanya ia hanyalah seorang pegawai di perusahaan pelayaran Belanda, KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Karena kemampuannya dalam memumpuk modal, pada dekade 1940 ia terjun sebagai pengusaha dan mendirikan perusahaan. Djamaludin Malik Concern, begitu nama perusahaan itu, pada mulanya hanya bergerak di bidang perdagangan komoditi. Namun seiring berjalannya waktu, perusahaan ini terus berkembang dan merambah berbagai sektor, antara lain : perdagangan tekstil, kayu, pelayaran, dan kontraktor.
Pada masa revolusi, ia membentuk kelompok sandiwara Bintang Timur. Tak cukup satu, ia kemudian membeli kelompok sandiwara Pancawarna dari Njoo Cheong Seng. Kelompok ini kemudian digunakannya untuk menghibur para pejuang yang sedang menghadapi agresi militer Belanda. Dari Bintang Timur dan Pancawarna inilah kemudian Djamal mendirikan Persari. Pada awal tahun 1950-an hanya ada dua studio film yang dimiliki oleh pribumi. Persari yang didirikan oleh Djamaludin Malik, dan Perfini yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Kedua-dua perusahaan film ini dijalankan dengan gaya yang berlainan. Perfini bersikap idealis, dan anti terhadap film-film murahan yang hanya mengandalkan lekuk tubuh serta tari-tarian. Meski menghasilkan film-film bermutu, namun pendapatan Perfini agak memprihatinkan.



Djamaludin Malik berpose di depan mobil Chevrolet miliknya


Sedangkan Persari dikelola dengan cara modern, layaknya Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) di Amerika Serikat. Studio filmnya yang berlokasi di Polonia Jatinegara, berdiri di atas lahan yang sangat luas serta memiliki fasilitas cukup lengkap. Pada masa itu, Djamaludin Malik sebagai direktur utama telah mengendarai Chevrolet, dan bermukim di kawasan Menteng. Sutradara serta artis-artis utamanya juga ia belikan mobil, dan ditalangi untuk membeli rumah di Kebayoran Baru. Luar biasa !! Kala itu bekerja dengan Djamaludin Malik adalah suatu kebanggaan. Jaminan kemakmuran dan ketenaran. Tak hanya karyawan Persari yang kecipratan rejeki darinya. Para seniman Senen-pun kerap ditraktirnya makan hingga puas. Djamal memang dikenal sebagai seorang yang dermawan. Rumahnya di Jalan Cianjur, selalu terbuka 24 jam bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya.
Meski suka menyenangkan orang lain, namun kehidupan pribadinya agak berantakan. Ia beberapa kali kawin-cerai. Dan terakhir hidup dengan Elly Yunara, seorang keturunan Maroko. Dari wanita cantik inilah ia dikaruniai empat orang anak : Zainal Malik, Camelia Malik, Yudha Asmara Malik, dan Lailasari Malik. Putri keduanya Camelia Malik yang merupakan artis terkenal, kemudian meneruskan cita-cita ayahnya untuk mengembangkan industri film Indonesia. Ia mendirikan PT. Remaja Ellynda Film, yang telah menghasilkan “Malin Kundang” dan “Jembatan Merah”.



Djamaludin Malik merupakan tokoh yang banyak berjasa bagi perkembangan industri film Indonesia. Ia pertama kali memproduksi film pada tahun 1950, dengan judul “Sedap Malam”. Dua tahun kemudian, ia melakukan joint production dengan perusahaan film asal Philipina, untuk memproduksi film berwarna pertama : “Rodrigo de Villa” (1952). Setelah itu dua film berwarna berikutnya kembali ia hasilkan, yakni “Leilana” (1953) dan “Tabu” (1953). Pada tahun 1954, bersama Usmar Ismail ia mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), dan mengajak organisasi tersebut untuk bergabung dengan Federasi Produser Film se-Asia. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat film Indonesia di mata internasional. Jasa Djamaludin terhadap industri film Indonesia tak hanya sampai disitu. Pada tahun 1955, ia mempelopori terselenggaranya Festival Film Indonesia I. Djamal pula yang membiayai seluruh keperluan festival itu.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, Djamaludin membentuk serikat seniman Muslim yang dinamai Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Dalam lembaga tersebut bergabung pula Usmar Ismail sebagai ketua umum dan Asrul Sani sebagai ketua I. Bergabungnya Usmar Ismail dan Asrul Sani ke dalam organisasi ini, menanggalkan kesan mereka selama ini sebagai anggota PSI (Partai Sosialis Indonesia). Dimana pada masa peralihan 1950-1960-an, semua orang-orang Minang intelek diasosiasikan sebagai anggota PSI yang menentang Bung Karno. Lesbumi bertujuan untuk melawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang disokong oleh Partai Komunis Indonesia. Namun sejak tahun 1963, Lekra lebih sering “bentrok” dengan aktivis Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang dimotori oleh Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, dan Taufiq Ismail.

Djamaludin Malik dan Soekarno, berbicara santai di Istana Negara, Jakarta


Pada tahun 1964, ia memproduksi film “Tauhid”. Film ini merupakan proyek kerjasama antara Departemen Agama dan Departemen Penerangan. Saifuddin Zuhri — waktu itu menteri agama — menginginkan adanya sinema yang bernafaskan Islam. Jadilah film yang disutradarai oleh Asrul Sani serta dibintangi Aedy Moward dan Ismed M. Noor ini diproduksi. Tak tanggung-tanggung, lokasi syutingnya mengambil tempat di Mekkah. Hal ini memberikan kepuasan tersendiri bagi kru film tersebut, karena bisa sekalian menunaikan ibadah haji.
Hingga tahun 1966, Djamal telah memproduksi sebanyak 59 judul film. Yang terakhir bertajuk “Menyusuri Jejak Berdarah”, dan memperoleh penghargaan untuk kategori tata sinematografi terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional 1967. Tahun 1969, dia ditunjuk sebagai Ketua Dewan Film Nasional. Posisi itu diembannya hingga ia menghadap sang Khalik. Pada awal 1970, ia menderita penyakit komplikasi. Beberapa lama ia dirawat di RS Fatmawati Jakarta, sebelum akhirnya berobat ke Muenchen, Jerman Barat. Di kota ini, pada tanggal 8 Juni 1970, Djamaludin berpulang ke rahmatullah. Jasadnya kemudian diterbangkan ke Jakarta, dan dikebumikan di pemakaman Karet Bivak. Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi gelar Bintang Mahaputra Adipradana II dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Selain itu, namanya juga disandingkan dengan Usmar Ismail, sebagai dwitunggal perfilman Indonesia.

sumber gambar : indonesiancinematheque.blogspot.com

*Bekasi, 26 Agustus 2012

Bermetamor dari SEPAK BOLA ke PERFILMAN

mungkin orang-orang yang mengenal saya dari awal saya lahir hingga tumbuh menjadi dewasa seperti ini mereka mengingat saya sebagai seorang Kiper Sepak Bola dan orang-orang terdekat saya dulu selalu tau saya suka sekali dan hobi bermain Sepak Bola karna ayah saya dulu adalah pemain bola di Kota Bekasi dan lingkungan keluarga saya adalah lingkungan keluarga pencinta Olahraga.

di rumah saya sejak dulu ada 2 kubu cabang olahraga yaitu sepak bola dan bola volly, ayah saya dan saya pemain sepak bola tetapi ibu dan ade saya pemain bola volly, saat jaman saya SD saya masuk SSB terkenal di Kota Bekasi yaitu SSB Tuna Patriot Bekasi kebetulan juga ayah saya salah satu pendiri SSB tersebut jadi saya masuk aga di mudahkan lah hehe... lalu berlanjut ke kompetisi antar SSB ya alhamdulillah sering menangnya tetapi dulu saya adalah seorang gelandang serang kiri, sempat berhenti main bola karna pindah-pindah rumah ikut ayah saya dines pindah ke luar kota terus dan balik lagi ke Bekasi saya memutuskan untuk meneruskan menjadi pemain Sepak Bola di SSB yang sama tetapi saya berganti posisi menjadi seorang penjaga gawang dengan alasan yang simpel "karna saat seleksi tim sepak bola posisi KIPER lah yang saingannya sedikit' hehe...

beranjak masuk SMA SMAN 14 Bekasi di sini lah petualangan menjadi pemain sepak bola di mulai di tingkan sekolah dan kota serta provinsi mewakili sekolah saya dan sering banget dispen engga belajr-belajar deh hehe :D

ni foto-foto saya bersama TIMNAS SMAN 14 Bekasi di berbagai ajang dari pertama kali saya bertanding membawa nama SMAN 14 Bekasi sampai debut terakhir saya bertanding :)

Line Up Tim SMAN 14 liga pendidikan indonesia regional Kota Bekasi 2010

liga pendidikan indonesia regional Kota Bekasi 2009

liga pendidikan indonesia regional Kota Bekasi 2009 berlumpur ria hehe :D

Jaya Baya Cup 2010

Jaya Baya Cup 2010

Penabur Cup 2010 juara 4 ( pertama kalinya Futsal SMAN 14 masuk 4 besar dalam sebuah turnament)

Penabur Cup 2011 (gagal mengulang sukses di thn 2010

Full Tim SMAN 14 Bekasi Liga Pendidikan Indonesia 2011

YPI CUP 2009 (di percaya oleh senior bermain bersama dalam satu tim)

Jaya Baya Cup 2010 (sehabis dari pertandingan ini kami jadi artis di eluh-eluhkan para penonton)

Foto bersama Teman sebangku saya and sahabt saya juga dan bergabung juga di dalam Timnas LPI SMAN 14 Bekasi 2011

berjalan dengan sepak bola yang saya geluti saya mempunyai suatu hal yang baru dulu si saya menganggap ini cuma sebagai project iseng-iseng dan coba-coba yaitu membuat suatu Film Dokumenter kelas saat saya duduk di bangku SMA berawal dari sahabat saya yang sekarang menjadi sutradara di PH Film saya dan yang membuat saya menjadi menggeluti dunia PERFILMAN dia adalah Bagus Mias.

dan saya mulai serius menggeluti dunia film dan memutuskan bahwa dunia sepak bola harus saya singkirkan saat saya dan PH film saya mengikuti festival film dan menjuarai festival film itu dan memahami dunia film dan sejarahnya serta sebagainya dari situ lah saya tumbuh menjadi calon sineas besar Indonesia amin :)

ni beberapa foto saya saat memproduksi suatu film bersama PH Film saya 





4 Foto di atas yang mengesankan bersama sutradara gue Bagus Mias  

nasip sebagai shuting siang hari bolong otomatis make handuk 

membicarakan enggel yang akan di ambil sebagai gambar di dalam film bersama Bagus Mias dan Doantika

seting shuting Film Perahu Hegi bersama Doantika dan Hegi Setiawan

foto bersama sutradara, produser, astrada, ass came dilm Perahu Hegi

shuting tengah hari bolong gini ni jadinya :D

seting saat pengambilan gambar Film Saturday

foto bersama para pemain dan crew Film Saturday

foto saya bersama kamera kesukaan saya saat shuting film apapun tapi kameranya minjem hehe :D

itu pengalam saya sampai sekarang, bagai mana dengan kamu???

*Bekasi, 25 Agustus 2012


Sabtu, 04 Agustus 2012

Kehadiran buku Besar AKU dalam Film AADC


Latar belakang esai ini adalah ingatan hitam putih  saya pada buku scenario AKU yang ditulis berdasarkan perjalanan hidup dan karya Chairil Anwar. Skenario Sjuman Djaya ini tak hadir pertama kali sebagai bacaan yang mudah saya dapat di rak-rak buku perpustakaan sekolah maupun perpustakan kota. Buku itu pertama kali hadir sebagai tontonan dalam film bertajuk Ada Apa Dengan Cinta (Miles Production, 2002) besutan Rudi Soedjarwo yang sukses menjaring jutaan penonton dan berdampak pada diterbitkannya kembali buku AKU oleh Metafor (2003) sehingga menjadi bacaan yang mudah di dapat di toko-toko buku.

Dalam Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), buku scenario AKU dikisahkan menjadi buku bacaan tokoh utama dan memiliki kedudukan penting sebagai motif bertemunya -yang nantinya berkembang menjadi kedekatan emosi- dua sejoli yaitu Rangga (diperanakan oleh Nicholas Saputra) dan Cinta (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo). Secara khusus pula, identifikasi pribadi Rangga dalam film AADC secara minat tampaknya dikontruksikan serupa dengan tokoh Chairil dalam buku scenario AKU yang menyukai buku-buku sastra dan memiliki ketertarikan pada puisi. Dalam film AADC, minat Rangga ini dapat kita ketahui dari kebiasaannya mengunjugi Kwitang untuk membeli buku-buku lama dan terpilihnya dia sebagai juara lomba penulisan puisi yang diadakan sekolahnya.

Kemungkinan lain, hadirnya buku scenario AKU dalam film AADC diniatkan agar para penonton ter/mengingat kembali sosok Sjuman Djaya sebagai salah satu sineas terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Sjuman Djaya memang dikenal sebagai sutradara idealis yang konon tak dapat "didikte" oleh produser film. Dari tangan dinginnya telah lahir film-film berkualitas yang langganan meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di antara pertengahan tahun 70-an sampai pertengahan 80-an.

Salah satunya adalah film Si Doel Anak Betawi (PT Perfini, 1973) yang mengangkat budaya Betawi semisal adat turun ranjang juga realitas sosial Betawi, utamanya kesan umum bahwa anak-anak Betawi banyak yang tak bersekolah. Dalam film ini Sjuman Djaya tampak ingin mendobrak kesan umum itu dengan mengangkat kisah keluarga Betawi tulen dimana tokoh Asmad memiliki kepedulian untuk membiayai sekolah keponakannya yang bernama Doel (diperankan Rano Karno). Inti tema yang membicarakan pentingnya pendidikan ini akan terus terdengar pengaruhnya semisal dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (Karno's film, 1993) besutan Rano Karno yang tayang di layar televisi sampai 162 episode.

Fiksi yang memuat Refleksi
Barangkali Si Doel atau Rangga hanyalah seorang tokoh fiktif. Tetapi, Doel hadir sebagai representasi seorang anak yang hidup pada sebuah wilayah dimana fasilitas pendidikan tak bisa diperoleh secara cuma-cuma. Saya kira di negeri tempat kita tinggal ini, sosok-sosok Doel yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan mudah untuk kita temukan entah sebagai berita di surat kabar atau sebagai nasib tetangga kita. Tak bisa kita pungkiri, sistem pendidikan juga berunsur reproduksi kesenjangan sosial dimana untuk masuk sekolah yang dianggap berkualitas terdapat sebuah proses seleksi sosial antaranya kemampuan pembiayaan.
Sedang Rangga hadir sebagai representasi seorang anak yang hidup di wilayah kalangan sekolahan. Dalam wilayah itu ia melatih diri untuk mengemukakan gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan untuk menulis dan membaca sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Pada kehidupan nyata tersohornya Chairil sebagai penyair pelopor angkatan 45 atau tersohornya Sjuman Djaya sebagai sineas terkemuka karena keduanya hadir dari kalangan sekolahan dimana pendidikan menjadi investasi yang mumpuni di kemudian hari bagi profesi keduanya yang kemudian mengantar mereka meraih puncak -puncak prestasi.

Kesemua tokoh-tokoh fiksi dalam karya seni di atas, dapat ditanggapi sebagai refleksi nasib-nasib masyarakat. Fiksi menjadi semacam bayang bagi fakta, di satu sisi dapat difungsikan menjadi sumber identifikasi kondisi sosial masyarakat, di sisi lain berpotensi pula menjadi pengingat daya kreativitas dan prestasi yang pernah dicapai anak bangsa dan acuan masyarakat untuk terus mempertanyakan persoalan-persoalan dasar (semisal hak mendapat pendidikan) yang tak boleh lenyap dari diri manusia.

Jumat, 03 Agustus 2012

Srip Film "Separuh Aku" by M. Rizky Kurnia


Film by Poetranesia Production Agustus 2012
“SEPARUH AKU”

MCU : Lorong sekolahan yang kosong dan halaman sekolahan yang kosong.

1.  EXT Lorong Sekolahan – Pagi
Lorong sekolahan yang kosong, sepi dan sunyi tiba-tiba ada usara langkah kaki yang berlari dan tergesah-gesah memecah kesunyian lorong sekolahan itu, ternyata yang sedang berlari di lorong itu adalah Putri salah satu siswi di SMA itu yang sangat cantik dan terkenal di sekolahnya, kemudian Putri memasuki kelasnya.

Black Screen.

Bell Sekolahan Istrirahat berbunyi...

2.  EXT Lorong Sekolahan – Pagi
Suasana lorong itu ramai karna sedang jam istirahat, Putri sedang berjalan bersama pacarnya bernama Ari, mereka bergandengan tangan tetapi Ari mengandeng tangan Putri dengan sakat keras dan muka Putri seperti menolak dan kesakitan, dan Putri berontak untuk melepaskan tangan dia dari genggaman Ari.

Ari
“Kenapa? Kok di lepas?”

Putri
“Sakit tau, engga bisa pelan-pelan apa?”

Ari
“Sakit? Sakit apaan, orang biasa aja! Jadi ikut ke kantin engga?”

Putri
“Engga...!”

Ari
(sambil mendekati Putrid an menunjuknya dengan jarinya di depan mukanya Putri)
“Ok...! tapi jangan lupa PR MTK aku kerjain, kalo engga awas...!”

Saat Ari pergi meninggalkan Putri, Putri masih berdiri di tempat tadi, dan sambil memegang pergelangan tangannya yang sakit, di sudut lorong itu ada satu cowok sedang membaca buku dan memeperhatikan Putri, cowok itu bernama Reza, lalu Reza berdiri dan berjalan mendekati Putri tetapi Reza hanya melawati Putri, saat Putri mau melangkah tiba-tiba Putri menginjak suatu kertas, lalu di ambil oleh Putrid an Putri baca, “Cinta terkadang menyakiti kita, tanpa sebab!” lalu Putri tidak menghiraukan Tulisan di kertas itu, dan kertas itu di buang oleh putri.

Black Screen

Bell Sekolah Pulang Berbunyi...

3.  EXT Gerbang Sekolah – Siang
Gemuruh anak sekolah yang pulang begitu ramai, Putri sedang menunggu Ari untuk menjemputnya pulang bareng, berlama-lama menungu Ari tak kunjung datang, di pojok jalan ada Reza yang sedang memperhatikan Putri dengan serius. saat Putri masih menunggu Ari di depan gerbang sekolah tiba-tiba Ari lewat menggunakan motornya tetapi Ari memboncengi seorang cewek lain dengan sangat mesra dan akrap sekali, tanpa menghiraukan Putri yang melihatnya sedang berboncengan dengan cewek lain itu, setelah Ari lewat di hadapan Putri, Putri pun gugup, lemas, kesal sekali lalu Putri duduk dengan menundukan kepala, tiba-tiba saat itu ada motor mendekati dan berhenti persis di depan Putri, lalu pengendara Motor itu berkata.

Tukang Ojek
(sambil mencolek Putri)
“neng...neng... ojek neng?”

Putri
(putri melongokan kepalanya kea rah tukang ojek itu)
“hah...??”

Tukang Ojek
“ojek neng?”

Putri
(tanpa berfikir lagi Putri berdiri dari duduknya, dan ingin menaiki motor tukang ojek itu)

Saat Putri ingin menaiki ojek itu, putrid melihat ada sepucuk kertas berada di jok belakang tukang ojek itu, lalu putri mengambilnya dan membacanya “terkadang apa yang kita harapkan dan kita tunggu, nyatanya bukan seperti yang kita mau”. Sekali lagi Putri tidak menghiraukan kertas itu lalu dia buang, dan pergi pulang bersama tukang ojek itu.

Black Screen

MCU : Transisi dari malam ke Pagi

4.  EXT Lorong Sekolahan – Pagi
Masih suasana jam istirahat, Putri berjalan bergandengan tangan dengan Ari, dan Putri kembali berontak dan melepaskan tangannya dari genggaman Ari, tetapi sekarang mereka berantem sangat hebat dan Ari menampar Putri dan Putri meminta putus dari Ari lalu mereka putus hubungan.

Ari
“kenapa lagi si..!”

Putri
“ngapain kamu kemaren jalan sama cewek lain, dan engga jemput aku untuk pulang?”

Ari
“oh itu... emangnya kenapa? Penting buat lo!”

Putri
“oh jadi gini perlakuan kamu sama aku sekarang iya? Hah? Dasar PLAY BOY !”

Ari
(menampar Putri)
“hati-hati ya kamu bicara...!”

Putri
(sambil memegang pipinya)
“Ari aku minta Putus sama kamu! Aku udah engga kuat gini terus!”

Ari
“oh bagus deh! ok kita putus!”

Lalu Ari meninggalkan putri sendirian di lorong kelasnya, di sudut lorong Reza yang sejak tadi memperhatikan Putri, ikut pergi dari lorong itu.

Black Screen

5.  EXT Lorong Sekolahan – Pagi
Putri berjalan di lorong sekolahan dengan hati dan muka yang sedih sekali atas berlakuan Ari terhadapnya selama ini putrid seperti menyesl telah memilih Ari sebagai pacarnya, terus Putri duduk di sudut lorong itu dan menatap ke depan dengan tatapan kosong sesekali dia menutup matanya dan menarik nafas untuk menenangkan dirinya dan hatinya, saat Putri menaruh tangan kanannya ke sisi samping kanannya, tangannya putrid tertempel di sepucuk kertas dan kertas itu sama seperti yang kemarin dia dapatkan, lalu Putri membuka surat itu dan membacanya “terkadang manusia salah memilih Cinta untuk di jadikan tambatan hatinya, dan itu menyakitkan, tetapi saat itu lah kamu akan mendapatkan tambatan hati yang kamu cinta, orang itu yang selalu memperhatikan kamu dan menjaga kamu dari jauh, tapi kamu tidak pernah menyadari itu, tapi suatu saat nanti kamu akan bertemu dia dan mencintai dia setulusnya dan seutuhnya, karna dia datang karna CINTA”. Putri pun melamun dan berfikir sambil memegang Kertas itu, seketika temannya datang dan memecah keheningan yag sedang Putri rasakan.

Resti
(sambil merangkul pundak Putri)
“eh... put, lagi apa lo ngelamun aja?”

Putri
“eh elo res, engga kok engga apa-apa”

Resti
“Put kemading yuk, kata anak-anak ada puisi yang bagus banget, dari seorang cowok namanya Reza”

Putri
“Reza? Siapatu res?”

Resti
“itu anaknya cupu banget deh baca buku mulu, tapi puisinya dia tu romantic banget. Udah yuk put ikut... ayo lah...”

Putri
“iya...iya...”

Lalu Resti dan Putri berjalan menuju Mading sekolah.

Black Screen

6.  EXT Mading, dan Lorong Sekolahan – Pagi
Setalah Putri dan Resti sampai di madding mereka berdua mambaca Puisi Reza itu, dan menghayatinya, setelah Putri membaca ada satu hal yang ganjil yang di lihat oleh Putri karna tanda pengenal penulis puisi yang berada di madding itu sama seperti tanda pengenal yang berada di setiap kertas yang Putri temui dengan berinisial “-R-“, lalu Putri bertanya kepada Resti orang yang bernama Reza itu yang mana.

Putri
“Resti lo orang yang menulis Puisi ini?”

Resti
“tau kok put, emangnya kenapa?”

Putri
“engga apa-apa gue Cuma pengen tau aja”

Resti
(sambil menunjuk seseorang di sudut lorong dekat madding itu)
“oh gitu put, hem... itu orangnya”

Saat Putri melihat seseorang yang di tunjuk oleh Resti, Putri pun kaget ternya yang selama ini perhatiin dia dari kejauhan dan selalu nolongin dia adalah Reza si anak cupu dan engga punya temen itu.

FLASHBACK : 6. EXT Lorong Sekolah, Pintu Gerbang Sekolah – Pagi
Saat Putri memegang lengannya yang kesakitan, Reza berjalan mendekati dia dan menjatohkan kertas kecil di hadapan Putri tanpa di ketahui Putri, saat Putri duduk dan menduduk di sudut jalan raya Reza memanggil tukang Ojek untuk mengantarkan Putri pulang dan Reza manaruh Kertas kecil di jok belakang tukang Ojek itu dengan sedikit solatip agar tidak terjatuh, dan saat Putri bengong dan memejamkan mata di sudut lorong kelas Reza lewat dan sekali lagi menaruh kertas kecil di samping kanan Putri, semua kertas-kertas yang di berikan Reza tanpa Putri ketahui itu adalah sebuah pesan bahwa Reza sangat mencintai Putri, tetapi Reza tidak ingin mengungkapkannya jadi Reza manjaga dan memperhatikan Putri dari jauh agar Putri terjaga seutuhnya untuk Reza.

7.  EXT Lorong Sekolahan – Pagi
Putri berjalan dari mading untuk mendekati reja yang sedang duduk dan focus membaca buku yang sedang Reza baca, lalu Putri duduk di samping Reza.

Putri
(Melihat kearah Reza tanpa sedetik pun berpaling)

Reza
(sedang asik membaca buku, Reza merasa seperti ada yang mengusik dia, lalu Reza menoleh kea rah Putri yang di sampingnya, dan mereka berhadapan)

Putri
(saat Putri berhadapan dengan Reza, Putri melontarkan satu kata kepada Reza lalu memberikan senyuman yang manis ke pada Reza)
“Makasih...”

Reza
“Sama-sama...”
(dan Reza pun menyambut senyuman Putri dengan tersenyum juga kepada Putri)

MCU

Mereka berdua bertukar senyum satu sama lainnya, denga suasana hati yang begitu bahagia di kedua muka mereka.

Black Screen

-THE END-