Sabtu, 04 Agustus 2012
Kehadiran buku Besar AKU dalam Film AADC
Latar belakang esai ini adalah ingatan hitam putih saya pada buku scenario AKU yang ditulis berdasarkan perjalanan hidup dan karya Chairil Anwar. Skenario Sjuman Djaya ini tak hadir pertama kali sebagai bacaan yang mudah saya dapat di rak-rak buku perpustakaan sekolah maupun perpustakan kota. Buku itu pertama kali hadir sebagai tontonan dalam film bertajuk Ada Apa Dengan Cinta (Miles Production, 2002) besutan Rudi Soedjarwo yang sukses menjaring jutaan penonton dan berdampak pada diterbitkannya kembali buku AKU oleh Metafor (2003) sehingga menjadi bacaan yang mudah di dapat di toko-toko buku.
Dalam Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), buku scenario AKU dikisahkan menjadi buku bacaan tokoh utama dan memiliki kedudukan penting sebagai motif bertemunya -yang nantinya berkembang menjadi kedekatan emosi- dua sejoli yaitu Rangga (diperanakan oleh Nicholas Saputra) dan Cinta (diperankan oleh Dian Sastrowardoyo). Secara khusus pula, identifikasi pribadi Rangga dalam film AADC secara minat tampaknya dikontruksikan serupa dengan tokoh Chairil dalam buku scenario AKU yang menyukai buku-buku sastra dan memiliki ketertarikan pada puisi. Dalam film AADC, minat Rangga ini dapat kita ketahui dari kebiasaannya mengunjugi Kwitang untuk membeli buku-buku lama dan terpilihnya dia sebagai juara lomba penulisan puisi yang diadakan sekolahnya.
Kemungkinan lain, hadirnya buku scenario AKU dalam film AADC diniatkan agar para penonton ter/mengingat kembali sosok Sjuman Djaya sebagai salah satu sineas terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia. Sjuman Djaya memang dikenal sebagai sutradara idealis yang konon tak dapat "didikte" oleh produser film. Dari tangan dinginnya telah lahir film-film berkualitas yang langganan meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di antara pertengahan tahun 70-an sampai pertengahan 80-an.
Salah satunya adalah film Si Doel Anak Betawi (PT Perfini, 1973) yang mengangkat budaya Betawi semisal adat turun ranjang juga realitas sosial Betawi, utamanya kesan umum bahwa anak-anak Betawi banyak yang tak bersekolah. Dalam film ini Sjuman Djaya tampak ingin mendobrak kesan umum itu dengan mengangkat kisah keluarga Betawi tulen dimana tokoh Asmad memiliki kepedulian untuk membiayai sekolah keponakannya yang bernama Doel (diperankan Rano Karno). Inti tema yang membicarakan pentingnya pendidikan ini akan terus terdengar pengaruhnya semisal dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (Karno's film, 1993) besutan Rano Karno yang tayang di layar televisi sampai 162 episode.
Fiksi yang memuat Refleksi
Barangkali Si Doel atau Rangga hanyalah seorang tokoh fiktif. Tetapi, Doel hadir sebagai representasi seorang anak yang hidup pada sebuah wilayah dimana fasilitas pendidikan tak bisa diperoleh secara cuma-cuma. Saya kira di negeri tempat kita tinggal ini, sosok-sosok Doel yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan mudah untuk kita temukan entah sebagai berita di surat kabar atau sebagai nasib tetangga kita. Tak bisa kita pungkiri, sistem pendidikan juga berunsur reproduksi kesenjangan sosial dimana untuk masuk sekolah yang dianggap berkualitas terdapat sebuah proses seleksi sosial antaranya kemampuan pembiayaan.
Sedang Rangga hadir sebagai representasi seorang anak yang hidup di wilayah kalangan sekolahan. Dalam wilayah itu ia melatih diri untuk mengemukakan gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan untuk menulis dan membaca sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari. Pada kehidupan nyata tersohornya Chairil sebagai penyair pelopor angkatan 45 atau tersohornya Sjuman Djaya sebagai sineas terkemuka karena keduanya hadir dari kalangan sekolahan dimana pendidikan menjadi investasi yang mumpuni di kemudian hari bagi profesi keduanya yang kemudian mengantar mereka meraih puncak -puncak prestasi.
Kesemua tokoh-tokoh fiksi dalam karya seni di atas, dapat ditanggapi sebagai refleksi nasib-nasib masyarakat. Fiksi menjadi semacam bayang bagi fakta, di satu sisi dapat difungsikan menjadi sumber identifikasi kondisi sosial masyarakat, di sisi lain berpotensi pula menjadi pengingat daya kreativitas dan prestasi yang pernah dicapai anak bangsa dan acuan masyarakat untuk terus mempertanyakan persoalan-persoalan dasar (semisal hak mendapat pendidikan) yang tak boleh lenyap dari diri manusia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar